Dasar Hukum BMT dan Perbedaannya dengan Bank Syariah

Baitul Maal wa Tamwil (“BMT”) ialah lembaga swadaya masyarakat yang didirikan dan dikembangkan oleh masyarakat, biasanya pada awal pendirian menggunakan sumber daya, dana atau modal, dari masyarakat setempat. Konsep ‘maal’ lahir dan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat muslim dalam hal penghimpunan dan penyaluran dana untuk zakat, infak, dan sedekah (“ZIS”) secara produktif. Sedangkan konsep ‘tamwil’ lahir untuk kegiatan usaha produktif yang murni untuk mendapatkan keuntungan bagi sektor masyarakat menengah ke bawah (mikro).

Pasal 39 ayat (1) UU 1/2013 mengkategorikan BMT sebagai LKM yang harus mulai menyesuaikan dengan ketentuan UU 1/2013, sebagaiman bunyi pasal tersebut selengkapnya di bawah ini:

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Bank Desa, Lumbung Desa, Bank Pasar, Bank Pegawai, Badan Kredit Desa (BKD), Badan Kredit Kecamatan (BKK), Kredit Usaha Rakyat Kecil (KURK), Lembaga Perkreditan Kecamatan (LPK), Bank Karya Produksi Desa (BKPD), Badan Usaha Kredit Pedesaan (BUKP), Baitul Maal wa Tamwil (BMT), Baitul Tamwil Muhammadiyah (BTM), dan/atau lembaga-lembaga lainnya yang dipersamakan dengan itu tetap dapat beroperasi sampai dengan 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini berlaku.

Dalam waktu 1 tahun tersebut, lembaga-lembaga yang disebutkan di atas, termasuk BMT, wajib memperoleh izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan.[1]

Berdasarkan hal tersebut, keberadaan BMT sebagai LKM diakui dengan diterbitkannya UU 1/2013 ini. Oleh karena BMT yang termasuk dalam kategori LKM maka pengelolaan BMT harus tunduk dan berlandaskan ketentuan yang diatur dalam UU 1/2013.

Bentuk BMT Berdasarkan UU 1/2013

Dalam Pasal 5 ayat (1) UU 1/2013 disebutkan:

Bentuk badan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a adalah:

  1. Koperasi; atau
  2. Perseroan Terbatas.

Berdasarkan pasal di atas, maka BMT sebagai LKM hanya dapat berbentuk badan hukum koperasi atau perseroan terbatas.

Apabila BMT berbentuk koperasi maka tunduk juga pada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian (“UU 25/1992”) dan berada dalam pengawasan Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah. Sedangkan jika BMT berbadan hukum perseroan terbatas maka tunduk pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UU PT”) serta berada dalam pengawasan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Meski demikian, BMT di Indonesia pada umumnya berbentuk badan hukum koperasi. BMT dengan badan hukum koperasi tersebut dalam operasionalnya tunduk juga pada aturan turunan dari UU 25/1992, antara lain:

  1. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1995 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam oleh Koperasi;
  2. Keputusan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Nomor 91/Kep/M. KUKM/IX/2004 tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha Koperasi Jasa Keuangan Syariah;
  3. Peraturan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Nomor 11/PER/M.KUKM/XII/2017 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah oleh Koperasi;
  4. Peraturan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah 39/Per/M.KUKM/XII/2007 tentang Pedoman Pengawasan Koperasi Jasa Keuangan Syariah dan Unit Jasa Keuangan Syariah Koperasi.

Bank Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah

Berkaitan dengan perbankan syariah, Indonesia telah memiliki undang-undang khusus yang mengatur perihal itu yaitu Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (“UU 21/2008”). Bank syariah didefinisikan sebagai bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah dan menurut jenisnya terdiri dari:[2]

  1. Bank Umum Syariah; dan
  2. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS).

Bank Umum Syariah sendiri diartikan sebagai bank syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Sedangkan BPRS adalah bank syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.[3]

Selanjutnya, Pasal 4 UU 21/2008 mengatur bahwa bank syariah wajib menjalankan fungsi menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat dan juga dapat:

  1. menjalankan fungsi sosial sebagai bentuk lembaga baitul mal yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infak, sedekah, hibah, atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada organisasi pengelola zakat;
  2. menghimpun dana sosial yang berasal dari wakaf uang dan menyalurkannya kepada pengelola wakaf sesuai kehendak pemberi wakaf.

Persamaan dan Perbedaan BMT dan Bank Syariah

Menjawab pertanyaan kedua Anda, dikarenakan BPRS merupakan salah satu jenis dari bank syariah, maka kami di sini akan membahas persamaan dan perbedaan BMT dengan bank syariah.

Persamaan BMT dan Bank Syariah antara lain:

  1. Merupakan lembaga keuangan syariah.
  2. Menggunakan prinsip syariah dalam menjalankan usahanya yaitu prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.
  3. Merupakan lembaga yang dapat menghimpun dan menyalurkan zakat, infak, sedekah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KOPERASI SYARIAH

Profil KSPPS Berkah Mandiri Sejahtera

Sejarah singkat KSPPS Berkah Mandiri Sejahtera